Padang: Jejak Sejarah dan Perkembangannya Sebagai Ibu Kota Sumatera Barat
Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat, didirikan oleh masyarakat Minangkabau dari darek (dataran tinggi) seperti Solok, Batusangkar, dan Agam saat wilayah ini di bawah Kerajaan Pagaruyung. Sebagai kota terbesar di pantai barat Sumatra dan pintu gerbang Indonesia dari Samudra Hindia, Padang memiliki wilayah 694,34 km² yang sebagian besar berupa hutan lindung dan dikelilingi perbukitan setinggi 1.853 mdpl. Menurut BPS, jumlah penduduknya mencapai 919.145 jiwa pada 2022, meningkat menjadi 939.851 jiwa pada 2024, dengan proyeksi 954.177 jiwa pada akhir tahun serta pertumbuhan tahunan 1,26%.
Sejarah Kota Padang
Kota Padang berawal sebagai perkampungan nelayan di muara Batang Arau dan berkembang menjadi pelabuhan penting setelah kedatangan Belanda di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ini ditetapkan pada 7 Agustus 1669, saat masyarakat Pauh dan Koto Tangah menyerang loji Belanda. Selama masa penjajahan, Padang menjadi pusat perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Pada abad ke-20, ekspor batu bara dan semen dimulai dari Pelabuhan Teluk Bayur. Infrastruktur kota kini mencakup Bandar Udara Internasional Minangkabau dan jalur kereta api.
Padang memiliki sejarah yang tidak terpisahkan dari kedatangan orang asing dan pertumbuhan pemerintahan yang efektif untuk melayani masyarakat. Sejak abad ke-15, saat Kerajaan Minangkabau dipimpin Adityawarman, Padang dianggap sebagai daerah rantau. Awalnya, Padang tidak dipandang penting oleh Kerajaan Minangkabau, tetapi kemudian menjadi persinggahan bagi pedagang Aceh. Pada abad ke-17, Padang mulai diperhatikan oleh Belanda, yang mengusir Aceh dan mendirikan kantor dagang di kota tersebut.
Pada tahun 1784, Belanda menjadikan Padang sebagai pusat perdagangan di Sumatera Barat. Meski mengalami penjajahan, kota ini terus berkembang. Belanda memperluas wilayahnya dan mengubah struktur pemerintahan menjadi sistem Wijk, yang terdiri dari beberapa distrik. Pada awal abad ke-20, batas-batas kota ditetapkan, dan Padang terus tumbuh menjadi pusat penting di wilayah pesisir Barat Sumatera.
Masa kolonial
Kota Padang berkembang setelah kunjungan pelaut Inggris pada 1649 dan kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1663, yang mendorong migrasi penduduk Minangkabau. VOC membangun pelabuhan di pesisir barat Sumatra untuk memperlancar perdagangan dengan pedalaman.
Pada 1668, VOC mengusir Kesultanan Aceh dan memperkuat pengaruhnya, seperti tercantum dalam surat Regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung. Pemberontakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah pada 7 Agustus 1669 melawan monopoli VOC dapat diredam dan diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang.
Melalui kontrak dagang, VOC memperoleh keuntungan besar, dengan pelabuhan Muara mencatat pengiriman 0,3 miliar pikul lada dan 0,2 miliar gulden emas per tahun sejak 1770.
Kota Padang mengalami pergantian kekuasaan oleh bangsa Eropa. Pada 19 Agustus 1781, Inggris menguasai kota ini, tetapi dikembalikan kepada VOC setelah Perjanjian Paris 1784. Pada 1793, bajak laut Prancis François Thomas Le Même menjajah Padang, lalu Inggris kembali mengambil alih pada 1795. Belanda mengklaim kembali kota ini pada 1819 melalui Traktat London.
Pada 1837, Hindia Belanda menjadikan Padang pusat pemerintahan Pesisir Barat Sumatra, yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli, dan menjadi daerah gemeente pada 1 April 1906. Hingga Perang Dunia II, Padang adalah salah satu dari lima kota pelabuhan terbesar di Indonesia.
Menjelang kedatangan tentara Jepang pada 17 Maret 1942, Belanda meninggalkan Padang karena kepanikan. Soekarno tertahan di kota ini saat Belanda berencana membawanya ke Australia. Setelah Jepang menguasai situasi, Padang dijadikan kota administratif untuk pembangunan.
Republik Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai wali kota pertama Kota Padang. Sebelumnya, ia adalah pamong pada masa Belanda dan residen di Sumatera Utara.
Berita kemerdekaan tiba di Kota Padang pada akhir Agustus 1945, tetapi pada 10 Oktober, tentara Sekutu menduduki kota ini selama 15 bulan. Pada 9 Maret 1950, Kota Padang kembali ke Republik Indonesia setelah menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Surat Keputusan Presiden RIS nomor 111. Gubernur Sumatra Tengah menetapkan Kota Padang sebagai daerah otonom pada 15 Agustus 1950, memperluas wilayahnya dan menghapus status kewedanaan.
Pada 29 Mei 1958, Gubernur Sumatera Barat memindahkan ibu kota provinsi dari Bukittinggi ke Padang, yang dikukuhkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1979. Sebagai ibu kota provinsi, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 mengubah batas wilayah Kota Padang dengan memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Berdasarkan Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional 2015–2019, Kota Padang, bersama Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman, ditetapkan sebagai bagian dari pengembangan wilayah metropolitan Palapa.
Itulah informasi seputar Sejarah dan Perkembangan Padang sebagai Ibukota Sumatera Barat. Apakah Anda semakin tertarik berkunjung ke Padang? Ayo luangkan waktu liburan Anda untuk mengunjungi Padang.
Disamping itu, jika Anda sedang berada di Padang, jangan lupa untuk berkunjung ke Asuransi Sinar Cabang Padang. Yuk kunjungi Asuransi Sinar Mas Cabang Padang pada halaman berikut:
1. Asuransi Sinar Mas Cabang Padang
2. Asuransi Sinar Mas Kantor Pemasaran Agency Padang
3. Asuransi Sinar Mas Kantor Pemasaran Bukit Tinggi
Perkuat rasa cintamu pada Indonesia dengan menambah wawasan budaya nusantara di saluran whatsapp ini.
Sumber:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Padang.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Padang.
- "Sejarah Kota Padang":
https://www.kompasiana.com/safinaa/5cb2c321
cc52834c7c40ea95/sejarah-kota-padang. - https://padang.go.id/sejarah-kota-padang.