August 06, 2024

Menggali Sejarah Jakarta: Dari Sunda Kalapa hingga menjadi DKI Jakarta beserta Evolusi Budayanya

Pengertian Kota Jakarta

Secara resmi dikenal sebagai Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), dan sebelumnya bernama Batavia, adalah ibu kota Indonesia dan juga sebuah daerah otonom setingkat provinsi. Jakarta terdiri dari 5 kota administrasi dan 1 kabupaten administrasi. Dalam pengertian umum, Jakarta adalah sebuah kota metropolitan yang terletak di pesisir barat laut Pulau Jawa. Kota ini juga dijuluki "The Big Durian," karena dianggap sebanding dengan New York City, yang dikenal sebagai "The Big Apple" di Amerika Serikat.

Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Terletak di pesisir barat laut Pulau Jawa, Jakarta terdiri dari lima wilayah Kota Administrasi dan satu Kabupaten Administrasi. Luas wilayah Jakarta adalah sekitar 664,01 km², dengan total area laut mencapai 6.977,5 km².

Kota Administrasi Jakarta Pusat memiliki luas 48,13 km², Jakarta Utara 146,66 km², Jakarta Barat 129,54 km², Jakarta Selatan 141,37 km², Jakarta Timur 188,03 km², dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu seluas 8,70 km².

Jakarta, yang dahulu dikenal dengan nama-nama seperti Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia, kini dikenal di dunia internasional dengan julukan J-Town. Lebih populer lagi, Jakarta sering disebut "The Big Durian" karena dianggap sebanding dengan New York City, yang dikenal sebagai "The Big Apple" di Indonesia.

Sejarah Kota Jakarta

Sunda Kalapa (397–1527)

Jakarta pertama kali dikenal sebagai pelabuhan Kerajaan Sunda dengan nama Sunda Kalapa, yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Pelabuhan ini menjadi titik perjalanan menuju ibu kota Kerajaan Sunda, Dayeuh Pakuan Padjadjaran (sekarang Bogor), yang dapat ditempuh dalam waktu dua hari perjalanan dari Sunda Kalapa.

Sejarah penduduk asli Jakarta, yang dahulu dikenal sebagai Sunda Kalapa, dimulai pada zaman batu dan diperkirakan sudah ada sejak periode Neolitikum.

Jayakarta (1527–1619)

Bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Jakarta. Pada abad ke-16, Raja Sunda, Surawisesa, meminta bantuan dari Portugis di Malaka untuk membangun benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang berencana memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.

Perjanjian antara Raja Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran dan bangsa Portugis pada tahun 1512 memungkinkan Portugis membangun komunitas di Sunda Kalapa. Hal ini mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dan Portugis, yang melahirkan musik keroncong, atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.

Kesultanan Demak kemudian berhasil merebut Sunda Kalapa dari koalisi Pajajaran dan Portugis, dan mengubah namanya menjadi Jayakarta (Jakarta). Selanjutnya, proses Islamisasi dimulai, dan masyarakat Jakarta mengadopsi budaya serta bahasa Jawa, mirip dengan wilayah pesisir lainnya seperti Serang, Indramayu, dan Cirebon. Karena itu, hingga kini masih terdapat kosakata dan unsur budaya Jawa dalam suku Betawi.

Namun, sebelum benteng tersebut didirikan, Cirebon, dengan bantuan dari Demak, menyerang pelabuhan tersebut,sehingga penetapan Hari Jakarta pada tanggal 22 Juni oleh Wali Kota Jakarta, Sudiro, pada tahun 1956, merujuk pada pendudukan Pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527.

Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta, yang berarti "kota kemenangan." Nama Jayakarta berasal dari dua kata Sanskerta: Jaya yang berarti "kemenangan" dan Karta yang berarti "dicapai." Selanjutnya, Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon menyerahkan pemerintahan Jayakarta kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kemudian menjadi Sultan di Kesultanan Banten.

Batavia (1619–1942)

Belanda tiba di Jayakarta pada akhir abad ke-16 setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Pada awal abad ke-17, Jayakarta diperintah oleh Pangeran Jayakarta, seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada tahun 1619, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten dan mengganti namanya menjadi Batavia.

Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan, mereka membutuhkan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun ekonomi kota. VOC memaksa penduduk untuk menggunakan bahasa Melayu pasar dan mendatangkan banyak pekerja dari luar pulau. Proses ini menyebabkan bahasa Betawi berkembang menjadi kreol Melayu.

VOC juga banyak membeli budak dari Bali, di mana praktik perbudakan masih berlangsung saat itu. Inilah yang menyebabkan adanya kosakata dan elemen tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari Nusantara, serta Tiongkok, Arab, dan India.

Selama masa kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang pesat sebagai kota besar dan penting. Belanda banyak mengimpor budak dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian orang berpendapat bahwa komunitas yang dikenal sebagai suku Betawi terbentuk dari perpaduan berbagai kelompok ini.

Djakarta (1942–1945)

Pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942, dan Batavia diganti namanya menjadi Djakarta untuk meraih simpatik penduduk selama Perang Dunia II. Kota ini juga menjadi lokasi Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan baru sepenuhnya merdeka setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, setelah diduduki kembali oleh Belanda.

Jakarta (1945–Sekarang)

Sejak kemerdekaan hingga 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta diubah dari kotapraja di bawah wali kota menjadi daerah tingkat satu yang dipimpin oleh seorang gubernur. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI), dan Soemarno tetap menjabat sebagai gubernur.

Seni dan Kebudayaan Jakarta

Seni dan budaya asli penduduk Jakarta, atau suku Betawi, dapat ditemukan dalam berbagai temuan arkeologis, seperti giwang-giwang yang ditemukan di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang berasal dari abad ke-11 Masehi. Budaya Betawi juga merupakan hasil dari campuran antara budaya suku asli dan berbagai etnis pendatang, yang dikenal sebagai mestizo.

Sejak zaman dahulu, wilayah bekas Kerajaan Salakanagara, yang kemudian dikenal sebagai "Kalapa" (sekarang Jakarta), telah menjadi titik temu bagi pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Proses pencampuran budaya juga terjadi pada masa pemerintahan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa, yang menjalin perjanjian dengan Portugis. Hasil dari percampuran budaya antara penduduk asli dan Portugis ini melahirkan musik Keroncong Tugu.

Bahasa yang Digunakan

Bahasa Betawi digunakan di Jakarta dan sekitarnya. Secara tradisional, Bahasa Betawi Tengah atau dialek Jakarta termasuk dalam kelompok Bahasa Melayu Kreol karena banyak kosakata serapan dan pengaruh kuat dari Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu dengan bentuk baku yang sering diakhiri dengan vokal 'é' tinggi. Dialek Betawi Tengah memiliki kosakata yang lebih terbatas dibandingkan dengan Dialek Pinggiran, yang menunjukkan keberagaman kosakata lebih besar akibat pengaruh Bahasa Sunda, Jawa, dan beberapa bahasa lainnya.

Para pakar sering menyebut Bahasa Betawi sebagai dialek dari Bahasa Melayu, khususnya dialek Jakarta atau Melayu Batavia. Namun, klaim ini tidak sepenuhnya akurat karena hanya Dialek Betawi Tengah yang memiliki kedekatan dengan Bahasa Melayu, sedangkan Dialek Pinggiran lebih banyak dipengaruhi oleh Bahasa Sunda dan Jawa. Bahasa Betawi dapat dianggap sebagai rumpun dari Bahasa Melayu atau sebagai Bahasa dagang/Melayu Kreol. Secara historis, Bahasa Betawi muncul dari campuran berbagai bahasa di Batavia pada masa lalu, yang membentuk kosakata dan dialeknya yang beragam.

Itulah informasi tentang Sejarah Kota Jakarta.

Disamping itu, jika Anda sedang berada di Jakarta, jangan lupa untuk berkunjung ke Asuransi Sinar Mas Cabang Jakarta. Yuk kunjungi Asuransi Sinar Mas Cabang Jakarta pada halaman berikut:

1. Asuransi Sinar Mas Cabang Jakarta Utara

2. Asuransi Sinar Mas Cabang Kelapa Gading

3. Asuransi Sinar Mas Cabang Jakarta Selatan

4. Asuransi Sinar Mas Agency Division Fatmawati

5. Asuransi Sinar Mas Agency Division Mangga Dua

6. Asuransi Sinar Mas Kantor Pemasaran Tebet

Sumber:

  1. "20 Tempat Wisata Jakarta 2024 Terpopuler dan Wajib Dikunjungi": https://www.idntimes.com/travel/destination/dhiya-azzahra/tempat-wisata-di-jakarta-yang-sudah-buka.
  2. https://travel.tempo.co/read/1773803/11-tempat-wisata-jakarta-terbaru-2023-cocok-dikunjungi-saat-akhir-pekan.
  3. https://www.nibble.id/tempat-wisata-baru-di-jakarta-2023/.
  4. https://www.liputan6.com/hot/read/4154583/taman-wisata-alam-mangrove-angke-kapuk-alternatif-liburan-di-jakarta?page=2.
  5. Allianz Ecopark, Harapan untuk Lebih Dekat dengan Alam", https://www.kompasiana.com/fideliaoktaviani3010/62342397bb44867dd41e4d62/allianz-ecopark-harapan-untuk-lebih-dekat-dengan-alam.
  6. https://id.wikipedia.org/wiki/The_Museum_of_Modern_and_Contemporary_Art_in_Nusantara.
  7. https://wisatakita.com/wisata/Daerah.Khusus.Ibukota.Jakarta/Jakarta.Utara/Pantai.Marunda.